mengenai saya

Foto saya
Masih berdiri dan bertahan ditengah ribuan orang yang siap menjatuhkan. Itu bukan hl yang mudah untuk ditakhlukkan. Kecuali jika kita punya harapan, dan disitu pula kita akan bertahan dan berjuang. By 3rina3lga

Jumat, 16 Desember 2016

cerpen , ayah ibu akupun ingin seperti kakak. notes

hay..? selamat datang di blog saya.
kalli ini saya akan menampilkan cerpen yang saya buat dengan hasil pemikiran sendiri tanpa meng copy paste tulisan internet yang lainnya
anda dapat melihat tulisan cerpen atau naskah tulisan lainnya di erinaelga.blogspot.com
beri komentar agar saya dapat memperbaiki tulisan - tulisan yang akan saya buat dengan tema yang berbeda



KAU SADAR SAAT AKU PERGI

            Matahari kembali menampakkan sinarnya dibumi dan disitulah kehidupanku dimulai, namaku Rena gadis berusia 15 tahun dan menjalani pendidikan disekolah SMA FAVORIT 1 daerahku. Keluargaku masih lengkap ada kedua orang tua dan satu kakak perempuan namun entah kenapa kami tidak bisa saling menyatu bahkan untuk dikatakan sebagai keluarga. Pagi ini aku mendapatkan kesempatan untuk mengikuti lomba Kimia, bukan ditempat mewah dan Internasional melainkan disekolahku sendiri dan lawannya hanya antar kelas. Aku berfikir ini adalah sebuah kebanggaan tersendiri saat namaku mewakili kelasku, sepulang sekolah aku tidak sabar ingin pulang dan menceritakan semua ini kepada ibuku aku yakin ibu pasti bangga denganku.
“ibu.....aku dapat kesempatan untuk mengikuti lomba Kimia” senyumku yang tulus ternyata tak berarti sama sekali “benarkah?” respon ibu sangat biasa. “iya bu, apa ibu bisa bangga denganku?” tanyaku begitu penasaran dan jawabnya sama saja “sudahlah Ney, kamu hanya mewakili kelas bukan mewakili sekolah dan belum tentu kamu menang kan? Apa yang bisa ibu banggakan darimu?” ketus ibu begitu menyayat perasaanku. Dari situ aku menyadari kebenaran omongan ibu. “jika kakakmu dia sudah jelas, di kelas tersibuknya mempersiapkan UN masih sempat mendapatkan banyak sertifikat” aku hanya diam memandangi ibu, aku tidak suka dibanding – bandingkan dengan kakakku.
Begitupun dengan ayah, dia hanya bangga dengan kakakku dan mengatakan aku gemuk, jelek, bodoh seolah semua kekurangan selalu ada padaku. Aku tidak tau pasti kenapa mereka sangat benci denganku dan selalu menganggap kakak adalah anaknya yang terbaik. Aku bisa apa? Pernyataan kedua orang tuaku sudah pasti, dan mungkin akan selamanya dia menyanjung kakakku. Berita lomba Kimia ini rupanya tidak membuat mereka bangga denganku dan akupun kembali kesekolah tanpa doa dari kedua orang tuaku. “ibu,ayah aku tidak tau kenapa kalian selalu membenciku..” ucapku dalam hati. Langkah kaki ini selalu meragukan, setiap langkah yang kujalani tak pernah berguna untuk siapapun. Pukul 10 pagi ini pemenang lomba diumumkan, ternyata aku mendapat nomor urut 4 dari 9 kelas. Aku rasa nomor urut ini pun tak ada artinya jika kuceritakan pada orang tuaku.
Sore ini hujan turun sangat deras sampai aku tak mungkin bisa pulang menuju rumahku, tiba – tiba ibu menelfonku “Ren, apa kau bawa mantel?” ucap ibu tergesa – gesa. “bawa bu, ada apa?” dan ternyata aku disuruh menjemput kakakku disekolah. Jika aku tetap menjemputnya berarti aku harus rela kehujanan bahkan aku akan terkena flu “bu, ini hujan bagaimana aku bisa.........” ucapanku dipotong “jangan banyak bicara, kasian kakakmu” tak ada lagi yang bisa kuperbuat. Percuma jika menentang ucapan ibu ujung – ujungnya pasti aku yang menjadi sasaran.
Aku masih berseragam sekolah sambil memegang payung dan berada digerbang sekolah SMA ISTIMEWA, aku melihat sepasang kekasih berjalan menghampiriku ternyata kakakku dan kekasihnya. “loh..kok kamu disini Ren?” ucapnya terkejut. “ibu menyuruhku untuk menjemputmu kak!” sambil kiss jarak jauh dengan kekasihnya dan logat centil kakakku dia bergegas menuju motorku dan kamipun pulang dalam keadaan baju basah. Sesampainya dirumah ibu hanya menyiapkan satu handuk untuk dipelukkan ditubuh kakak “bu..mana handuk untukku?” kakak hanya melirik kearahku tanpa memerdulikan tubuhku. “kau tadi pakai mantel kan? Sedangkan kakakmu? Dia hanya payung” ucap ibu yang selalu menyepelekan keadaanku. Akhirnya kakak melempar handuk sisanya ketubuhku, “nih..aku kasih” ucapnya sambil berjalan masuk rumah.
Aku masih berdiri didepan pintu dengan tangan kiri yang memegang tas hitam dan tangan kanan yang merangkak mengambil handuk mataku masih melihat persis bagaimana perlakuan mereka denganku kini ibu dan kakak masuk dalam rumah, mereka tak tau aku diluar sini sedang menangis setiap hari sakit batin ini selalu membekas. “bu kenapa kau tak adil denganku?” ucapku lirih sambil bergegas masuk kedalam. Malam harinya tubuhku terasa panas, mungkin aku demam hujan tadi turun begitu lama dan menyurutkan kesehatanku. Aku mencoba menganggap demam ini biasa dan bergegas membuka laptop untuk meneruskan naskah novel yang ingin kukirimkan disalah satu penerbit didaerahku. Ayah yang tak sengaja melewati kamarku berkata “Ren..kamu bisa nggak sih belajar? Dari dulu mainan laptop aja gak berguna sama sekali” aku hanya bisa memejamkan mata, tak perlu membalas perkataannya “lihatlah ayah!! Aku pasti bisa sukses..” ucapku dalam hati
Tapi aku tetaplah manusia biasa, aku juga tidak tahan jika terus – terusan dihina dan direndahkan oleh keluargaku sendiri. Pagi ini adalah hari minggu semua keluargaku pasti sedang berada diruang tamu dan menonton kartun, aku memberanikan diri untuk menanyakan sikapnya yang tak pernah adil “bu...” mereka tetap asyik menonton kartun. “ayah......” dan mereka justru tertawa melihat hal lucu yang dilakukan dikartun itu. Air mata ini menetes begitu saja, perasaan ini selalu muncul ketika mereka menganggapku seolah tak ada didunia lagi. “ibu.....ayah.....” ucapku menjerit agar mereka mendengar suaraku dan kini ibu, ayah, dan kakak menatap wajahku yang berdiri disudut pintu. “kenapa kalian tak pernah memerdulikanku?” protes ini justru dikatakan jika sifatku masih kanak – kanak. “Ren, apaan sih? Gak penting” ucap kakak sambil berpaling membelakangi wajahku. “itu hanya perasaanmu saja” ucap ayah sambil kembali memalihkan wajahnya ke tv, “lalu, kenapa kalian tak mengajakku duduk dan menikmati acara tv bersama?”
Dan merekapun meng iya kan aku duduk diantara ibu dan ayah. Tapi tetap saja mereka hanya tertawa dan aku hanya diam merenung disamping kegembiraan mereka. Kepalaku terasa sangat pusing sehingga aku memutuskan untuk istirahat dikamar. “kau mau kemana?” ucap kakakku. “sudahlah, aku tak penting” dan akupun meneruskan berjalan. Setelah beberapa langkah keluar dari tempat itu aku menengok kehadapan mereka dan mereka tetap melanjutkan nonton tv, tanpa memanggilku untuk kembali. Sesampainya dikamar aku memandangi bingkai kecil yang berisikan foto saat aku masih Sekolah Dasar, disitu ada ayah yang menggendongku dan ibu yang memegang tanganku sedangkan kakak sedang memegang dua balon dan berada dipelukan ibu.
“aku sangat merindukan masa indah ini..apa secepat itu kalian berubah?” pertanyaan ini selalu menghantui pemikiranku hingga aku terlelap dalam tidur. Tiba – tiba bunyi telfon tanpa nama mengejutkanku hingga terbangun dari tidur “iya.. ini siapa?” ucapku setengah sadar ternyata ini adalah penerbit yang ingin melihat naskah novelku “owch, baiklah nanti akan saya kirim” semangatku kembali hadir ketika ada kesempatan baru untuk menjadi penulis, ini hanya iseng belaka sebenarnya naskah novelku berisi tentang sindiran saat keluargaku tak pernah menganggapku. Naskah ini sudah kukirim dan tinggal menunggu tiga hari untuk konfirmasi naskahku. “Ren, ayo makan..” ucap ayah sambil mengetok pintu kamar dan akupun bergegas menuju ruang makan. “dimana kakak?” ucapku bingung, karena biasanya kakak selalu duduk dikursi pink yang sangat indah itu. “kakak sedang shopping dengan ibumu”
“kenapa aku tidak diajak? Ah sudahlah.. akukan bukan orang yang mereka butuhkan” ucapku dalam batin. Makan siang ini hanya ada aku dan ayah, 2 jam kemudian terlihat ibu dan kakak bercanda sepanjang perjalanan menuju ruang tamu. Mereka terlihat saling bercerita tentang kejadian seru tadi di mall aku mengintip melalui kamarku dan sesekali kepalaku pusing aku hanya bisa memegangnya menggunakan tangan kananku. Senja ini cuaca tak seburuk kemarin, dilangit terlihat beberapa awan menyelimuti matahari dan kicauan riang burung diudara aku menghirup udara senja selepas hujan rasanya memang nyaman dan tenang. Dimeja belajar kamarku aku menuliskan selembar surat untuk keluargaku. Entah perasaan apa yang melambangkan hatiku saat ini, namun ingin sekali aku menuliskan selembar surat untuk mereka, lalu aku keluar mencari udara sejuk ditengah perjalanan kepala ini semakin sakit hingga aku terjatuh dan tak sadarkan diri.
“ibu,.apa kita tak pernah memperdulikan Rena?” tanya kakak. “maksudnya?” dan kakak pun menjabarkan isi hatiku yang ternyata dipahami oleh kakak. Lalu ayahpun mengetok pintu kamarku “Ren, ayo ikut ayah belanja” ucapannya begitu pelan. Tak ada jawaban dariku, itu karena aku sedang berada dirumah sakit selepas aku pinsan tadi. “Rena tidak ada dikamarnya!” ucap ayah sangat kaget. Kakak berlari menuju kamarku dan mendapatkan selembar surat itu jatuh dikakinya. “apa ini?” ucapnya begitu penasaran dan kakak membaca surat ini, ibu juga ada dikamarku.
“ibu..ayah..kakak..aku tak tau kesalahanku selama ini hingga kalian tak pernah menganggapku, aku juga tak tau kenapa aku ingin menulis surat ini untuk kalian. Beberapa hari yang lalu kepalaku pusing aku berfikir ini hanya pusing biasa tapi setelah kurasakan pusing ini sangat sakit bu.. aku pergi dari rumah untuk mencari udara yang sejuk. Jika pulang nanti aku sudah pergi jauh dari kalian..tolong doakan aku! Aku menyayangi kalian, aku tak pernah ingin baju,atau pujian hangat untukku! Sekarang yang kubutuhkan hanya perhatian tulus dari kalian” dan tulisan itu berakhir, memang cukup singkat lalu nomor tanpa nama menghubungi telfon rumahku, “ini dari RS.JWANDA” tanpa berfikir panjang mereka bergegas menuju mobil dan mencariku di RS>JWANDA
Aku sedang terbaring lemah ditempat itu, mereka semua memelukku aku sangat bersyukur karena kini mereka bersimpati denganku “makasih..” ucapku sambil tersenyum. “ayo pulang..” ucap kakak menangis terisak isak. Lalu dokter menjelaskan penyakit selaput otakku, dan saat takdir memutuskan untuk mengambil jiwaku disaat itulah aku melihat tangisan tulus keluargaku meskipun kesadaran itu sudah terlambat, kini jiwaku sudah berada diawan awan aku hanya bisa melihat mereka tanpa mereka sadari, ternyata aku sudah tenggelam bersama senja. Sore ini aku meninggalkan dunia dan isinya. “jangan bersedih bu, aku disini bahagia melihat kalian telah menyayangiku” ucapan ini sama sekali tak bisa mereka dengar, karena aku telah berada dialam lain.

2 komentar: